Minggu, 27 Desember 2015

Membiasakannya dengan adab Meminta Izin


Hari itu saya lupa persisnya, yang jelas saat saya sedang asik membaca buku sambil menemani anak saya bermain tiba-tiba ada pemandangan aneh saat saya menoleh ke belakang seperti ada bayangan orang. saya mencoba menoleh kembali " Astagfirullah..." benar saja, bukan bayangan orang tapi benar-benar orang. Siapa? iya, anak laki-laki usia 5 tahunan, anak tetangga sebelah. Kali ini saya bukan ingin bercerita tentang dia tetapi ada pelajaran menarik yang bisa diambil disini. Kenapa? karena saya tidak mengalaminya sekali, sudah beberapa kali saya mengalami kejadian yang sama dengan anak yang sama.

Mari kita mulai. Inilah pekerjaan orang tua yang sepintas sangat sederhana, tahukah anda? Pelajaran ini akan menjadi masalah besar dan cukup merepotkan jika anak tidak dibiasakan sedini mungkin. Tentang apa? " Adap Meminta izin". Dalam hal ini, izin memiliki arti yang sangat luas. Saya yakin, anda pun sepakat. Mari kita uraikan contohnya satu persatu agar lebih mudah membuat pola pembiasaan untuk anak-anak kita tercinta, generasi yang akan melanjutkan kepemimpinan masa depan. 

Pertama, Membiasakannya Mengucapkan Salam dan Mengetuk Pintu saat akan Masuk Rumah atau Bertamu. Bukankah ini perkara mudah? Betul, bagi orang dewasa. Tetapi cobalah ingat-ingat, ada banyak orang dewasa justru tidak menggunakan adab ini. Sehingga, banyak orang menggerutu (meskipun tidak diucapkan secara lisan) saat menemui tamu yang tiba-tiba masuk. Inilah yang ingin kita bangun dalam pribadi anak-anak kita, agar mereka secara sadar bisa santun saat datang dan pulang berpamitan pada tuan rumah. Sejak kecil, ketika ia diajak bertamu kita lah yang membimbingnya mengucapkan salam. Alhamdulillah, saya melakukan ini pada anak saya. Di usianya 1,5 tahun insyaAllah sudah bisa mengetuk pintu dan mengucapkan salam meskipun belum fasih " Pum..pum.." begitu katanya. Sesekali, ia masih nyelonong tapi dengan pembiasaan saya yakin ia bisa.

Kedua, Bersalaman pada Siapa pun yang Ia Temui Terlebih Lagi yang Baru Ditemui. Setiap kali mengunjungi keluarga, saya dan suami selalu memegang tangan anak kami sembari berkeliling menyalami semua yang ada. Meskipun lama dan hasilnya tidak serta merta, kami meyakini dampak positif dari latihan ini. Alhamdulillah, saat ini Nafisah mulai mau diarahkan " Salam..salam Nenek.." Ia pun langsung mengulurkan tangan dan menciumnya.

Ketiga, Mengajarkannya untuk Tidak Mengambil Makanan yang Bukan Miliknya. Saya acapkali menegur saat Nafisah mulai bergelagat untuk mengambil makanan temannya tanpa izin. Terkadang, saya turun tangan mengambil makanan yang sudah di tangannya untuk dikembalikan pada si pemilik. Pun sebaliknya ikut mengarahkan untuk memotong makanannya agar diberikan pada temannya. Perlahan, ia mengerti bahkan menarik tangan saya menuju sebuah hidangan makanan sebagai sinyal untuk mengkonfirmasi apakah makanan itu boleh ia makan atau tidak. Selain itu, ia juga mulai respon untuk memberikan makanannya pada orang lain baik diminta maupun tidak.

Terakhir, Mengajarkannya untuk Meminjam dan Mengembalikan Mainan Temannya. Ada masa dimana saya tidak akan membelikan mainan seperti apa yang dimiliki temannya. Supaya ia belajar bersosialisasi, adab meminjam, menjaga barang pinjaman, dan mengembalikannya. Sehingga, kelak kalau ia sudah besar ia paham tentang kepemilikan, hak dan kewajiban.

Ada banyak aktivitas lain yang harus dipahami oleh kami sebagai orang tua juga anda berikut berbagai cara yang kita gunakan untuk memahamkan anak tentang nilai dalam kehidupannya. Mari berbagi dan saling memberi manfaat.

Kamis, 24 Desember 2015

Membatasi anak berteman, baikkah?


Kelak perlahan ketika anak mulai beranjak dewasa inginnya kita ia menjadi anak yang peduli & penuh empati kepada orang-orang di sekelilingnya. Ketika poin ini tertanamkan dengan baik kepada anak insyaAllah ia akan tumbuh menjadi anak yang pandai berkomunikasi dan pandai bergaul. Barangkali yang terdekat adalah mengajarkannya untuk rajin mengunjungi saudara, mengenal mereka, & saling berbagi.

Pernahkah kita melihat kejadian dimana orang tua memilih mengurung anaknya di dalam rumah? membatasi anak-anaknya bergaul dengan teman-temannya terlebih lagi jikalau teman itu dianggap memiliki pengaruh negatif. Bahkan ada diantara orang tua yang melarang anak bergaul dengan temannya karena sensitif pribadi pada orang tua temannya. Baik, mungkin anak bertanya kenapa? Namun kita tidak mampu mengurai dengan baik penjelasannya. Secara tidak langsung adda nilai yang tertanam di dalam jiwa anak-anak entah itu kebencian atau yang lainnya.

Menurut saya yang paling pas adalah membolehkan anak mengenal banyak teman untuk menambah khazanahnya tentang banyak orang berikut dengan karakternya. Ia akan belajar berbagai pola interaksi dengan berbagai karakter yang ia temui di lapangan, bagaimana memecahkan masalah dengan teman-temannya, membagi makanan yang ia miliki, meminjamkan mainannya, dan aktivitas lain yang syarat dengan nilai kebaikan.

Bagaimana agar anak tidak terpengaruh nilai buruk temannya? Saya yakin inilah peran orang tua sebagai pendengar setia dari cerita-cerita yang ditemui anak setelah bermain. Bahkan orang tua perlu sering-sering memulai dengan bertanya, semisal " Tadi main apa kak?". Pertanyaan tersebut hanya sebagai stimulan agar anak mau mulai bercerita. Dari cerita-cerita itulah kita akan mulai menganalisa penemuan anak baik positif maupun negatif sambil meluruskan setiap temuannya. 

Ada banyak cara lain yang harus dipelajari orang tua terkait dengan ini karena tak sedikit orang tua yang merasa dirugikan oleh pengaruh di luar sana terhadap anak-anak mereka. Contohnya, kenapa anaknya sering berkata kotor padahal di rumah tidak ada yang pernah mengeluarkan kata-kata aneh tersebut, kenapa anak-anak jadi pemalu, tidak betah di rumah, dan lain-lain. Karena menjadi orang tua tak ada sekolahnya, jadi haruslah responsif....

Rabu, 23 Desember 2015

Bagi Orang Dewasa Mungkin Sederhana


Nafisah di usia 1,5 tahun. Sore ini selepas bermain bersama teman-temannya ia menjumpai saya di dapur. Sebagai ibu terkadang saya masih harus banyak belajar tentang apa yang dipikirkan oleh anak seusianya. Termasuk ketika saya sedang memasak, tiba-tiba ia mengambil sehelai demi sehelai pakaian kotor yang biasa kami kumpulkan di satu keranjang khusus. Kemudian, pakaian tersebut ia masukan ke dalam ember berisi air. Tak berhenti sampai disitu, ternyata ia melihat deterjen di sampingnya, sontak ia menuangkan deterjen tersebut ke dalam ember. Saya sedikit lengah, namun kemudian tertarik untuk memperhatikan apa yang ia lakukan.

Ya, semua pakaian di badannya basah & ember berisi pakaian sudah berbuih. MasyaAllah! Barangkali banyak orang tua yang beranggapan ini kerja konyol seorang anak kecil seusianya. Tapi saya berpikir lain. Saya yakin ini adalah hasil observasi mendalam seorang Nafisah terhadap aktivitas sehari-hari yang dilakukan Umi dan Abinya. Kejadian ini membuat saya semakin yakin bahwa sebenanya orang tua tidak wajar mengeluh tentang ketidakmandirian anak mereka karena sejatinya anak itu sudah memiliki fitrah untuk melakukan banyak hal sendiri secara mandiri. Namun apakah yang salah??? Disinilah PR saya untuk mempertahankan fitrah ini hingga ia beranjak dewasa, dibutuhkan banyak stimulan pastinya... Bersambung! Mari berbagi!